Rabu, 30 Maret 2016

INDRIANI BACHRUDIN - HUKUM PERJANJIAN


TUGAS SOFTSKILL
HUKUM PERJANJIAN


NAMA KELOMPOK :


Indriani Bachrudin               (25214330)

Irfan Ibrahim                        (25214442)
Jacqueline Sabrina. V         (25214573)
Julfa Sukmawati                  (25214722)                 

KELAS: 2EB07


KELAPA DUA, DEPOK
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN 2015/2016



Hukum Perjanjian
1.     Pengertian Hukum Perjanjian

PengertianHukum
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

PengertianPerjanjian
·         R. Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan perjanjian sebagai “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal  atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut perjanjian itu.
(Wirdjono P, 1985:1)
·         Yahya Harahap, “suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.

·         Perumusan pengertian “perjanjian” dapat dijumpai pula dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999. Pasal 1 angka 7 undang-undang Nomor 5tahun 1999 mengartikan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Jadi, HukumPerjanjianbisadiartikansebagaiperaturan yang dibentukantara dua pihakataulebihdalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal  atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut perjanjian itu, baik tertulis maupun tidak tertulisyang tersusundalamsuatu system.

2.     Unsur-unsur Perjanjian
Berdasarkan perumusan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi undang-undang Nomor 5 tahun 1999 meliputi:
a.       perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
b.      perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian;
c.       perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis;
d.      tidak menyebutkan tujuan perjanjian

3.     Subjek Perjanjian
Menurut undang-undang Nomor 5 tahun 1999, subjek hukum di dalam perjanjian adalah “pelaku usaha”. Pasal 1 angka 5 undang-undang Nomor 5 tahun 1999 menyatakan, yang dimaksud “pelaku usaha” adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik swasta maupun milik negara.


Terjadinya perjanjian disebabkan oleh adanya hubungan hukum dalam harta kekayaan antara dua orang atau lebih, dengan demikian pelaksana dari suatu perjanjian minimal dua orang yang berhadapan yang menduduki tempat yang berbeda . Satu orang menjadi “kreditur dan satu orang lainnya lagi menjadi debitur”. Kedua subjek tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam perjanjian yang mereka sepakati yaitu satu pihak berkewajiban melaksanakan prestasi dan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan prestasi. Menurut teori dan praktek perjanjian, kreditur dan debitur terdiri dari  (Yahya Harahap, 1982:13-14):
1)      Individu sebagai persoon yang bersangkutan yaitu:
a)      Natuurlijke persoon atau manusia tertentu
b)      Recht persoon atau badan hukum
2)      Seorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu, misalnyaseorang bezitter atas kapal
3)      Persoon yang dapat diganti (vervangbaar) yaitu berarti kreditur yang telah menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam perjanjian, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur/debitur baru. Perjanjian ini berbentuk “aan toonder” atau perjanjian atas nama atau kepada pemegang/pembawa pada surat-surat tagihan hutang.

4.     ObjekPerjanjian
Objekperjanjianadalahsuatuprestasi.Menurutketentuanpasal 1234 KUH Perdata, prestasidapatberupamemberikansesuatu, berbuatsesuatudantidakberbuatsesuatu.Perjanjianmemberikansesuatuberupapenyerahansesuatubarangataumemberikansesuatukenikmatanatassuatubarang.
Berbuatsesuatuadalahsetiapprestasiuntukmelakukansesuatu, bukanberupamemberikansesuatu.Misalnyamelukis.
SedangkanTidakberbuatsesuatuadalahjikadebiturberjanjiuntuktidakmelakukanperbuatantertentumisalnyatidakakanmembangunsebuahpagar.

Agar perjanjiansahmakaobjeksuatuperjanjianharusmemenuhibeberapasyarattertentu, yaitu (R.Setiawan, 1979:3):
o   Objeknyaharustertentuataudapatditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUH. Perdata)
o   Objeknyadiperkenankanolehundang-undang (Pasal 1335 dan 1337 KUH. Perdata)
o   Prestasinyadimungkinkanuntukdilaksanakan.

5.     Syarat sahnya Perjanjian

§  Ditinjau dari Hukum Privat

Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2. cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3. suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidakterpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.



§  DitinjaudariHukumPublik

Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral;

b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara;

c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferens iPasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.

d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah
sebagai berikut :

a) penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut;

- bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;

- bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujuidemikian;

- bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.

b) pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di negara anggota.




6.     AkibatPerjanjian

*      Ditinjau dari Hukum Privat

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakandidalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.


*      Ditinjau dari Hukum Publik

1) Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.


2) Bagi negara lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional). Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

7.     Berakhirnya perjanjian

v  Ditinjau dari Hukum Privat
Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian; Hukum Perjanjian Lista Kuspriatni
Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 4
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
d. tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur). Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);

b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

c. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.

d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;

e. putusan hakim;

f. tujuan perjanjian telah tercapai;

g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).

v  Ditinjau dari Hukum Publik

(1) sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.

8.     Perjanjian-perjanjian yang Dilarang
Dalamundang-undangnomor 5 tahun 1999 terdapat 11 macamperjanjian-perjanjian yang dilaranguntukdibuatolehpelakuusahadenganpelakuusaha lain, sebagaimanadiaturdalampasal 4 sampaidenganpasal 16 yaitusebagaiberikut:
a)      Oligopoli (Pasal 4)
b)      Penetapanharga (Pasal 5)
c)      DiskriminasihargadanDiskon (Pasal 6 sampaidenganPasal 8)
d)     Pembagianwilayah (Pasal 9)
e)      Pemboikotan (Pasal 10)
f)       Kartel (Pasal 11)
g)      Trust (Pasal 12)
h)      Oligopsoni (Pasal 13)
i)        Integrasi vertical (Pasal 14)
j)        Perjanjiantertutup (Pasal 15)
k)      Perjanjiandenganluarnegeri (Pasal 16)

DaftarPustaka
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Rachmadi Usman S. H.
HukumdanEtikaBisnis, Dr. H. Budi Untung, S.H., M.M.
HukumdalamEkonomiedisi 2, Kartika Sari.
Aspek-aspekhukumperusahaanjasapenilai: appraisal company/Joni Emirzon